KerajaanBali : Sejarah, Penyebab Keruntuhan, Raja, Peninggalan. Mengenal Nama-nama Wali Pitu, 'Wali Songo' Penyebar Agama Islam di Bali, Ada Yang Jadi Murid Sunan Gunung Jati - Kabar Lumajang. Jika di Jawa ada Wali Songo, Ternyata di Bali ada Wali Pitu, ini Daftar Alamatnya. Spirit Dakwah Kultural Ala Wali Songo. Islamdi Bali Denpasar Sejarah Islam diIndonesia tidak lepas dari kerajaan - kerajaan yang ada dijawa, dan tidak terlepas pula dari kewalian yang telam menyebarkan islam diIndonesia. Tabanan, suatu tempat pada zaman itu masih daerah kerajaan Mengwi Makam beliau saat menjadi ziarah kaum muslim baik dari Bali maupun dari Luar Bali (Jawa Pembantaianini hampir tidak pernah disebutkan dalam buku sejarah Soeharto menghadiri pemakaman jenderal-jenderal yang dibunuh pada tanggal 5 Oktober 1965. (Gambar oleh Departemen Penerangan Indonesia) Nabi Muhammad kemudiannya menikah dengan Siti Khadijah ketika ia berusia 25 tahun. Ia pernah menjadi penggembala kambing. MODULSEJARAH SEMESTER 1 KLS XI IA. BAB I PERKEMBANGAN NEGARA TRADISIONAL (HINDU BUDHA) DI INDONESIA. 1. Perkembangan Agama Hindu Sejak zaman sebelum Masehi, di lndia telah ditempati oleh bangsa Dravida yang mempunyai peradaban tinggi. Peradaban itu terpusat pada dua kota yakni di kota Harrapa dan Mahenjo Daro, yang keduanya terletak di aliran Sungai Sindu. Dimakam Syekh R.K. Abd. Jalil di Kampung Saren Jawa (perintis Kampung Islam 'Saren Jawa' pada 1410) juga ada dua makam yakni K.H. Daud dan Jero Tauman yang dimakamkan pada 1610. Status keduanya belum jelas, namun diduga berperan dalam pembukaan Kampung Islam "Saren Jawa" itu. makalahsejarah makam siti khotijah di bali. makalah sejarah makam siti khotijah di bali SEJARAH MAKAM SITI KHODIJAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Persyaratan Pengambilan Raport Pengampu : Ibu Hj.Ummi Istiqomah, S.Ag dan Ibu Rumaisah, S.Pd Disusun Oleh : Nama : Dewi Oktafia I. Absen : 10 Kelas : XI - IPS 2 KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK U2nsJXW. Di Kota Denpasar terdapat sebuah makam seorang puteri muslim yang bernama Raden Ayu Siti Khotijah. Namanya dikalangan muslim tentu sangat familiar, walau berbeda penulisan dan pengucapannya, bahwa nama tersebut sama dengan nama istri Nabi Muhammad SAW, Siti Khadijah. Dari buku yang dijual di sekitar makam, Raden Ayu Siti Khotijah, yang punya nama asli Gusti Ayu Made Rai atau disebut juga dengan Raden Ayu Pemecutan ini adalah seorang putri dari Raja Pemecutan. Namun tidak jelas dari Raja Pemecutan yang mana. Cerita awal sang Raden Ayu Pemecutan, seperti cerita legenda putri-putri keraton di seluruh nusantara. Sang putri terkenal cantik dan disayang hingga menjadi kembang kerajaan. Tak sedikit para pembesar kerajaan di Bali yang ingin meminang sang putri. Namun musibah datang, sang putri mengidap penyakit kuning. Raja Pemecutan berusaha untuk menyembuhkan sang anak kesayangan, namun tak berhasil menyembuhkan sang putri. Hingga Raja Pemecutan membuat sebuah sayembara yang bisa menyembuhkan penyakit sang putri, jika perempuan akan diangkat jadi anak raja dan jika laki-laki akan di kawinkan dengan Raden Ayu Pemecutan. Kabar tentang sayembara ini terdengar oleh seorang ulama di Yogyakarta dan mempunyai seorang anak didik yang jadi raja di Madura yaitu Cakraningrat IV. Ulama yang dalam buku Sejarah keramat Raden Ayu Pemecutan disebut Syech ini memanggil Cakraningrat IV ke Yogyakarta untuk mengikuti sayembara tersebut. Raja Madura ini berangkat ke Bali, hasilnya dapat ditebak Raden Ayu Pemecutan dapat disembuhkan oleh Cakraningrat IV. Setelah sang putri sembuh, lalu Raden Ayu Pemecutan dan Cakraningrat IV dikawinkan. Tentunya dalam perkawinan muslim, keduanya harus beragama Islam, Raden Ayu Pemecutan pun jadi mualaf dan bergelar Raden Ayu Siti Khotijah. Sang putri lalu di boyong ke Madura oleh Cakraningrat IV. Suatu ketika Raden Ayu pulang ke Bali beserta 40 orang pegiring dan pengawal. Cakraningrat IV memberikan bekal berupa guci, keris dan sebuah pusaka berbentuk tusuk konde yang diselipkan di rambut sang putri. Sesampainya di kerajaan Pamecutan, Siti Khotijah disambut dengan riang gembira. Namun, kala itu tidak ada yang mengetahui bahwa sang putri telah memeluk agama Islam. Suatu hari ketika ada suatu upacara Meligia atau Nyekah yaitu upacara Atma Wedana yang dilanjutkan dengan Ngelingihan Menyetanakan Betara Hyang di Pemerajan tempat suci keluarga Puri Pemecutan, Raden Ayu Pemecutan berkunjung ke Puri tempat kelahirannya. Pada suatu hari saat sandikala menjelang petang di Puri, Raden Ayu Pemecutan alias Raden Ayu Siti Kotijah menjalankan persembahyangan ibadah sholat maghrib di Merajan Puri dengan menggunakan Mukena Krudung. Ketika itu salah seorang Patih di Puri melihat hal tersebut. Para patih dan pengawal kerajaan tidak menyadari bahwa Puri telah memeluk islam dan sedang melakukan ibadah sholat. Menurut kepercayaan di Bali, hal tersebut dianggap aneh dan dikatakan sebagai penganut aliran ilmu hitam. Akibat ketidaktahuan pengawal istana, keanehan’ yang disaksikan di halaman istana membuat pengawal dan patih kerajaan menjadi geram dan melaporakan hal tersebut kepada Raja. Mendengar laporan Ki Patih tersebut, Sang Raja menjadi murka. Ki Patih diperintahkan kemudian untuk membunuh Raden Ayu Siti Khotijah. Raden Ayu Siti Khotijah dibawa ke kuburan areal pemakaman yang luasnya 9 Ha. Sesampai di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu berkata kepada patih dan pengiringnya “aku sudah punya firasat sebelumnya mengenai hal ini. Karena ini adalah perintah raja, maka laksanakanlah. Dan perlu kau ketahui bahwa aku ketika itu sedang sholat atau sembahyang menurut kepercayaan Islam, tidak ada maksud jahat apalagi ngeleak.” Demikian kata Siti Khotijah. Raden Ayu berpesan kepada Sang patih “jangan aku dibunuh dengan menggunakan senjata tajam, karena senjata tajam tak akan membunuhku. Bunuhlah aku dengan menggunakan tusuk konde yang diikat dengan daun sirih serta dililitkan dengan benang tiga warna, merah, putih dan hitam Tri Datu, tusukkan ke dadaku. Apabila aku sudah mati, maka dari badanku akan keluar asap. Apabila asap tersebut berbau busuk, maka tanamlah aku. Tetapi apabila mengeluarkan bau yang harum, maka buatkanlah aku tempat suci yang disebut kramat”. Setelah meninggalnya Raden Ayu, bahwa memang betul dari badanya keluar asap dan ternyata bau yang keluar sangatlah harum. Peristiwa itu sangat mengejutkan para patih dan pengawal. Perasaan dari para patih dan pengiringnya menjadi tak menentu, ada yang menangis. Sang raja menjadi sangat menyesal dengan keputusan belia . Jenasah Raden Ayu dimakamkan di tempat tersebut serta dibuatkan tempat suci yang disebut kramat, sesuai dengan permintaan beliau menjelang dibunuh. Untuk merawat makam kramat tersebut, ditunjuklah Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala urusan istana di Puri Pemecutan. Jika Anda berkunjung ke Kota Denpasar, Bali. Tepatnya di kawasan sekitar Jalan Gunung Batukaru, Pemecutan, Kec. Denpasar Barat Kota Denpasar, tentu Anda akan menemukan Situs berupa relik Islam yang cukup bersejarah. Yaitu Makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan. Makam ini di samping sebagai salah satu situs Islam yang cukup terkenal di Bali namun juga merupakan bagian dari benda pusaka warisan Puri/Keraton Pemecutan Badung. Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan yang bernama asli Gusti Ayu Made Rai sebelum memeluk agama Islam adalah seorang wanita mu’allafah yang sangat taat beragama. Beliau mendapatkan pelajaran agama Islam langsung dari Sang Suami yang sangat dicintainya. Yaitu Raja Bangkalan Madura Cakraningrat IV. Dari sinilah beliau sempat mendapatkan anugerah kekeramatan dari Allah SWT. meskipun beliau selaku Putri Raja Bali yang berdarah biru ini, belum sempat mendapatkan keturunan dari suaminya Raja Madura itu. Karena ditakdirkan tutup usia di masa masih belum berapa lama hidup bersama suaminya di Keraton Bangkalan Madura. Raden Ayu Siti Hadijah adalah putri Raja Pemecutan Denpasar Bali sebagai Istri/Permaisuri keempat Raja Bangkalan Madura Cakraningrat IV di samping ada tiga istrinya yang hidup di Kraton Bangkalan Madura. Ada beberapa versi penulisan tentang sejarah dipersuntingnya Putri Raja Pemecutan Gusti Ayu Made Rai oleh Pangeran Cakraningrat IV Bangkalan Madura sebelum menjadi raja. Ada yang menulis peristiwa itu berhubungan dengan peperangan antara Puri Pemecutan dengan Puri Mengwi yang berhasil dimenangkan oleh Puri Pemecutan atas Jasa Pangeran Cakraningrat IV. Ada juga yang menulis bahwa hal itu berhubungan dengan sayembara yang diadakan oleh Raja Pemecutan. Saat itu dimenangkan oleh pangeran Cakraningrat IV dari Bangkalan Madura yang berhasil menyembuhkan penyakit kuning hepatitis yang diderita oleh Putri Raja Pemecutan itu. Menurut Jro Mangku Made Puger juru kunci Makam keramat Agung Pemecutan bahwa perkawinan antara Raden Ayu Siti Hadijah dengan Pangeran Cakraningrat IV itu memang berhubungan erat dengan Sayembara yang diadakan oleh Raja Pemecutan III yang bernama Kiai Arya Ngurah Pemecutan yang bergelar Ida Bhatara Maharaja Sakti. Kisah itu bermula dari keberadaan putri raja Pemecutan ini yang sangat cantik dan mempesona tersohor di beberapa Puri/Keraton di Bali dan menjadi perbincangan hangat di kalangan para pangeran. Tidak sedikit para pangeran dari kerajaan lain di Bali maupun di luar Bali yang mengincar untuk mempersunting putri raja Pemecutan ini karena kecantikannya dan merupakan putri Raja yang sangat disayanginya. Namun Sang Putri ini tanpa diduga sebelumnya ternyata terkena dan mengidap penyakit kuning hepatitis yang sulit disembuhkan. Bertahun-tahun penyakit itu diderita oleh Sang Putri Pemecutan namun tak dapat disembuhkan meski sejumlah Balian dukun telah dipanggil untuk mengobati putri kesayangan raja. Pada suatu saat, ayahnya yakni Sang Raja yang langsung melakukan tapa semedi sendiri untuk meminta petunjuk kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa dalam rangka kesembuhan putrinya. Ternyata dalam tapa itu Sang Raja mendapat pawisik bisikan dari Yang Maha Kuasa agar beliau memerintahkan seluruh patih kerajaan untuk mempersiapkan pengumuman sayembara. Pengumuman sayembara itu dilakukan tak hanya di Bali, tetapi juga bagi kerajaan lain di luar Bali. Ada dua titah raja pada sayembara tersebut. Pertama, barang siapa yang dapat mengobati dan menyembuhkan penyakit anaknya, kalau dia perempuan akan diangkat menjadi anak angkat raja. Kedua, kalau dia laki-laki, jika memang jodohnya mau mengawininya akan dinikahkan dengan putrinya itu siapapun orangnya. Ternyata Sayembara itu terdengar sampai di kerajaan Mataram Yogyakarta sehingga salah seorang Guru spritual di keraton itu tertarik dengan sayembara itu lalu kemudian Sang Guru ini ingat dengan muridnya yakni seorang Pangeran yang berasal dari Bangkalan Madura. Dialah Cakraningrat IV yang memang diakuinya sebagai muridnya yang cukup memiliki ilmu tentang pengobatan di samping ilmu kanuragan yang tinggi. Saat itu juga muridnya ini dipanggil menghadap ke keraton Yogyakarta lalu sang guru memerintahkan berangkat ke Bali untuk mengikuti sayembara itu. Dengan dikawal sebanyak 40 orang pengawal dari keraton Yogyakarta, Pangeran dari Madura Cakraningrat IV ini berangkat berlayar menuju Pulau Bali hingga akhirnya sampai di Puri Pemecutan Denpasar. Pangeran Cakraningrat IV langsung menemui Raja Pemecutan dan mengutarakan maksud kedatangannya sesuai dengan isi sayembara yang dia dengar dari gurunya untuk mengobati penyakit tuan putri yang tengah sakit keras. Tidak berapa lama waktu yang dibutuhkan dalam peraktek pengobatan yang dilakukan oleh Pangeran Cakraningrat IV terhadap Tuan Putri dengan izin Allah SWT. hingga akhirnya Tuan Putri sembuh total dari penyakit yang dideritanya sejak bertahun tahun lamanya. Di saat itulah Pangeran Cakraningrat IV terpesona dengan kecantikan putri kesayangan Raja Pemecutan ini hingga akhirnya Sang Putri dipersunting oleh Pangeran Cakraningrat IV dan sekaligus dibawa ke Madura dan tinggal di Keraton Bangkalan. Suatu hari, Raden Ayu Siti Khodijah meminta izin kepada suaminya, Pangeran Cakraningrat IV untuk pulang sebentar ke kampung halamannya di Bali. Beliau sangat rindu dengan ayah, ibu dan keluarga besarnya di Kerajaan Pemecutan. Pangeran Cakraningrat IV mengizinkan istri kesayangannya itu untuk berkunjung pulang ke kediaman orang tuanya di Bali. Beliau memerintahkan pengawal dan dayang-dayang keraton sebanyak 40 orang untuk mengawal Raden Ayu Siti Khodijah menuju Pulau Bali. Sebelum berangkat ke Bali, Pangeran Cakraningrat IV memberikan bekal kepada istrinya berupa benda pusaka antara lain, guci, keris dan pusaka cucuk konde yang diselipkan di rambut Raden Ayu Siti Khodijah. Dalam perjalanan Raden Ayu Siti Khodijah dari tanah Bangkalan menuju Bali yang berlangsung dalam beberapa hari. Sementara itu keluarga besar Kerajaan Pemecutan tengah mempersiapkan upacara Maligia. Sesampainya di Kerajaan/Puri Pemecutan, Raden Ayu Siti Khodijah dan rombongan disambut baik oleh keluarga besarnya di Kerajaan Pemecutan dan mereka saling melepas kerinduan. Beberapa hari berselang rombongan dari Madura Kerajaan Bangkalan ini berada di Keraton, suatu saat pada waktu Maghrib tiba, Raden Ayu Siti Khotijah sebagai seorang muslimah yang sholehah tentu bersegera untuk menunaikan sholat Maghrib di Merajan Istana, tempat suci bagi umat Hindu. Karena tidak ada tempat lain yang layak untuk ditempati bersembahyang Sholat. Seperti biasa, Raden Ayu Siti Khodijah waktu itu sedang mengenakan mukena putih dan menghadap ke arah Barat kiblat. Hal ini belum pernah terjadi di lingkungan kerajaan/puri hal seperti itu yang membuat kecurigaan keluarga kerajaan/ puri Pemecutan. Para patih kerajaan melihat Raden Ayu Siti Khotijah yang tengah menunaikan kewajibannya sebagai umat Muslim maka Patih kerajaan menganggap aneh cara sembahyang Raden Ayu Siti Khotijah. Sebaliknya, patih menduga Raden Ayu Siti Khodijah tengah mengeluarkan mantra ilmu hitam leak. Sontak ia melaporkan hal tersebut kepada Raja Pemecutan yang tak lain ayah Raden Ayu Siti Khotijah. Raja sangat marah mendapat laporan patihnya. Kemudian Raja memerintahkan agar Raden Ayu Siti Khodijah dibunuh saja karena sudah melakukan kesalahan yang tidak bisa diampuni. Oleh karena Raja salah paham menganggap bahwa putrinya itu telah membawa aib bagi keluarga Kerajaan sehingga Sang Raja harus menanggung malu yang sangat berat. Peristiwa ini terjadi akibat kesalahpahaman sang raja saja. Patih kerajaan akhirnya mengajak Raden Ayu Siti Khodijah ke depan Pura Kepuh Kembar. Raden Ayu Siti Khodijah sebelumnya mengaku telah memiliki firasat jika ia akan dibunuh. Maka, ia pun meninggalkan beberapa pesan kepada patih sebelum dihukum mati dan mengembuskan nafas terakhirnya. “Janganlah saya dibunuh dengan memakai senjata tajam karena itu tidak akan dapat membunuh saya. Pakailah cucuk konde saya ini yang telah disatukan dengan daun sirih dan diikat benang Tridatu benang tiga warna; putih, hitam dan merah. “Nanti lemparlah cucuk konde ini ke arah dada saya sebelah kiri. Apabila saya sudah meninggal, dari badan saya akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, silahkan paman patih tanam mayat saya sembarangan. Tapi, jika asap dari badan saya berbau harum, tolong buatkan saya tempat suci yang disebut keramat,” pesan Raden Ayu Siti Khodijah. Benar saja, begitu cucuk konde ditancapkan ke tubuhnya, saat itu keadaan Raden Ayu Siti Khodijah serta merta mengucur darah segar dari tubuhnya karena tusukan itu menghujam di tubuhnya dan tiba tiba jasadnya mengeluarkan asap dan aroma harum. Kejadian aneh ini lalu dilaporkan kepada raja. Namun apa yang terjadi ternyata Sang Raja sangat menyesali atas keputusannya itu, bahwa Putri kesayangannya yang telah tiada itu ternyata adalah seorang suci dan memiliki kekeramatan dari Tuhan. Petaka ini terjadi akibat kesalahpahaman sang Raja ayahandanya yang pada akhirnya mengundang penyesalan seumur hidupnya akibat titah itu. Meskipun sebelum wafat, Raden Ayu Siti Khodijah sendiri sempat berusaha membantah tuduhan tersebut. Akan tetapi alasan itu tidak ada satu pun pihak di lingkungan puri yang menyokongnya agar terbebas dari hukuman mati. Tapi apa mau dikata nasi sudah jadi bubur. Bahkan, terakhir dia juga sempat berwasiat jika nanti jenazahnya berbau harum maka minta dimakamkan layaknya orang Muslim dan berarti tidak bersalah. Namun jika jenazahnya tidak berbau busuk, maka silakan dibakar diaben. Saat itu, begitu jasad Raden Ayu Siti Khodijah dikebumikan, tiba tiba muncul dan tumbuh dengan sendirinya sebatang pohon setinggi kira-kira 50 sentimeter di atas bagian tengah makam beliau. Setiap kali dicabuti tetap saja tumbuh lagi sampai tiga kali pohon itu dicabuti tumbuh kembali. Akhirnya dibiarkan saja tumbuh. Pohon itu sampai hari ini masih tetap tumbuh meskipun telah hidup berabad abad lamanya semacam pohon abadi sebagai bukti kekeramatan putri Raja Pemecutan yang beragama Islam itu. Konon, pohon itu dipercayai tumbuh dari rambut jasad Almarhumah Raden Ayu Siti Khodijah hingga akhirnya dinamai pohon rambut atau taru rambut. Adapun Cakraningrat IV sendiri kini dimakamkan di Pemakaman Aer Mata Air Mata Desa Buduran, Kecamatan Arosbaya, Kabupaten Bangkalan. Sebelumnya jenazah Cakraningrat IV dimakamkan di Tanjung Harapan, Afsel, pada tahum 1745. Oleh karena Raja Cakraningrat IV ini pernah dibuang oleh penjajah Belanda ke Afrika Selatan karena keberaniannya melawan dan menentang penjajah Belanda dan meninggal di sana. Sedangkan pengawal dan dayang dayang sebanyak 40 orang yang mengawal Raden Ayu Siti Khodijah dari Madura ke Bali yang terdiri dari laki-laki dan perempuan yang sedang dirundung kesedihan dengan wafatnya tuan permaisuri. Oleh karena kasetiaan mereka kepada Permaisuri Rajanya yang telah meninggalkan mereka untuk selamanya dari peristiwa berdarah di Puri Pemecutan itu, terpaksa mereka tinggal di Bali dan tidak pernah kembali lagi ke Madura dan kemudian dihadiahi oleh Raja Pemecutan tempat tinggal suatu perkampungan pelungguhan untuk tinggal di situ yang kemudian sekarang dikenal dengan nama Kampung Muslim Kepaon Denpasar berjarak sekitar kilometer sebelah tenggara dari makam Keramat Agung Raden Ayu Siti Hadijah Pemecutan sebagai kampung komunitas Madura, Jawa dan Bugis di kota Denpasar sampai saat ini. Wallahu a’lam bi shawab. Oleh Drs. H. Bagenda Ali, Buku “Awal Mula Islam di Bali” Setelah ditemukannya makam Walipitu ke-1 di atas, kemudian ditemukan 2 makam keramat lainnya di kota Denpasar, yakni 1 Makam keramat Pamecutan, milik Gusti Ayu Made Rai, alias Raden Ayu Siti Khotijah di Jln. Batu Karu Pamecutan Kota Denpasar Barat, dan 2 Makam keramat Pangeran Sosorodiningrat dari Mataram Islam di desa Ubung, dekat terminal Bus kota Denpasar. Menurut Tim penelusuran dan penelitian Walipitu, kedua tokoh ini tidak termasuk hitungan Walipitu Bali. Makam keramat Pangeran Sosrodiningrat, menurut cerita versi ke-1 merupakan makam milik Pangeran Sosrodiningrat, suami Raden Ayu Siti Khotijah. Dia menikai Siti Khodijah karena telah berjasa membantu ayahandanya, Raja I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, ketika berperang melawan Kerajaan Mengwi dan mendapat kemenangan. Lokasi makamnya di kampung Ubud dekat terminal bus kota Denpasar. Kini, makam keramat Pangeran Sosrodiningrat dibawah pengawasan dan pemeliharaan Bapak Ishaq, sesepuh Kampung Islam Kepaon Denpasar. Sedangkan Makam Keramat Pamecutan merupakan makam Islam milik seorang putri kerajaan Badung-Pamecutan yang bernama asli Gustu Ayu Made Rai. Nama lainnya adalah Raden Ayu Anak Agung Rai dan Raden Ayu Siti Khotijah nama setelah dia masuk Islam. Menurut satu sumber dari keluarga Puri Pamecutan Lanang Dawan, bahwa Raden Ayu adalah putra Raja Pamecutan III yang bergelar Ida Bhatara Maharaja Sakti, dan adik dari Raja Pemecutan IV, I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Sedangkan menurut sumber yang lain Bpk KH M. Ishak, tetua desa Kepaon, beliau adalah adik dari Raja Cokorda Pamecutan III. Lolasi makamnya di Jl. Batu Karu kota Denpasar Barat, searah dengan jalan menuju perumnas Monang-maning Denpasar. Makam keramat ini berhadapan dengan sebidang tanah yang cukup luas sebagai tempat “ngaben” pembakaran mayat umat Hindu. SEJARAH TOKOH. Siapa sebenarnya Raden Ayu Siti Khotijah?. Dalam hal ini terdapat dua versi cerita yang berkembang di tengah masyarakat. Versi 1 Sejarah, cerita, mitos ataupun legenda versi pertama ini bersumber dari buku “Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya’, wali pitu di Bali”, berdasarkan keterangan dari KHM Ishak, tetuta agama Islam di Kampung Islam Kepaon Denpasar yang memiliki hubungan dekat dengan kerabat Puri Pemacutan, sebagai berikut Raden Ayu Siti Khodijah adalah nama beliau setelah berikrar masuk agama Islam. Nama aslinya adalah Ratu Ayu Anak Agung Rai. Dia adalah putri Raja Pemecutan Cokorda III yang bergelar Bathara Sakti yang memerintah sekitar tahun 1653 M Menurut sumber lain, memerintah tahun 1697 dan wafat tahun 1813 M.. Raden Ayu Siti Khotijah dinikahkan dengan Pangeran Sosrodiningrat alias Raden Ngabei Sosrodiningrat yang telah berjasa membantu kerajaan Badung Pamecutan berperang melawan kerajaan Mengwi pada tahun 1891, sampai membawa kemenangan. Pada waktu Raja Pamecutan tengah berperang, salah seorang prajuritnya menahan seorang pengelana di Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Orang yang ditahan tersebut diduga menjadi telik sandi atau mata-mata musuh. Ia lalu dihadapkan kepada Raja Pamecutan untuk diusut. Akhirnya diketahui, ternyata dia adalah Pangeran Sosrodiningrat, seorang senopati dari Mataram yang sedang berlayar menuju Ampenan pulau Lombok. Namun perahu yang ditumpanginya bersama 11 orang pengiring dihantam badai yang cukup dahsyat sampai kapalnya pecah dan tenggelam. Pangeran Sosrodiningrat berhasil lolos dari kematian dan terdampar di pantai selatan Desa Tuban kecamatan Kuta, kabupaten Badung, sementara 11 orang pengiringnya tidak diketahui nasibnya. Setelah mengetahui identitasnya sebagai seorang senopati Mataram, Raja Pamecutan meminta kesediaannya untuk memimpin prajurit yang sedang berperang. Raja Pamecutan berjanji kepadanya, apabila perang telah usai dan meraih kemenangan, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya. Pangeran bersedia membantu untuk memperkuat pasukan yang sudah ada di medan perang, tanpa memikirkan janji raja. Dia malah berpikir apakah mungkin dapat menikah dengan seorang putri yang beragama Hindu, sedangkan dirinya beragama Islam. Setelah perang selesai dan dimenangkan oleh pasukan Kerajaan Pamecutan, maka Raja memenuhi janjinya dan Pangeran Sosrodiningrat benar-benar dinikahkan dengan putrinya, Ratu Ayu Anak Agung Rai. Setelah dipersunting oleh Pangeran, Raden Ayu kemudian memeluk agama Islam, namanya diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Dia bersungguh-sungguh menekuni, mempelajari dan melaksanakan ajaran Islam secara baik. Setelah berlangsung beberapa tahun, musibah datang menimpa Raden Ayu. Pada suatu malam, seperti biasanya dia mengerjakan shalat tahajjud dengan mengenakan mukena / rukuh berwarna putih didalam kamarnya yang gelap di lingkungan komplek keputren Pura Pemecutan. Pintu kamarnya yang biasanya selalu tertutup, saat itu dalam posisi terbuka karena dia lupa tidak menguncinya, sehingga punggawa kerajaan yang sedang berjaga-jaga ketika itu secara tidak sengaja melihat gerakan tangan yang sedang diangkat keatas untuk takbirotul ihrom sambil membaca “Allohu Akbar”, yang menurut pendengaran punggawa tersebut berbunyi “makeber”,yang dalam bahasa Bali berarti “terbang”. Seluruh gerak-gerik sholat Raden Ayu tersebut terus diperhatikan oleh punggawa dan dikiranya sebagai pekerjaan leak orang jadi-jadian yang berbuat jahat. Karena menurut keparcayaan masyarakat Bali, diantara ciri-ciri leak adalah berpakaian putih-putih dan anggota tubuh seperti tangan, kepala dan kaki tertutup rapat, sedangkan gerakan sujud, duduk dan jongkok rukukseolah-olah persiapan leak untuk terbang. Sang punggawa langsung saja melaporkan kepada Raja, bahwa di kamar Keputren ada leak yang sedang beraksi dan akan terbang. Raja sangat marah setelah mendapatkan laporan tersebut dan tanpa pikir panjang lalu memerintahkan beberapa punggawa lainnya agar segera mendatangi kamar tersebut dan membunuh apa yang mereka sangka sebagai leak itu. Para punggawa secara cepat melaksanakan perintah sang Raja. Mereka mendatangi kamar Raden Ayu yang masih dalam keadaan terbuka. Ketika itu Raden Ayu sedang sujud. Tanpa memikirkan risiko yang akan terjadi, para punggawa menyerbu kedalam kamar dengan senjata terhunus dan langsung menancapkan tombaknya tepat ke punggung Raden Ayu, dan kontan saja darah segar muncrat ke atas disertai suara jeritan “Alloohu Akbar” tiga kali. Bersamaan dengan itu, terjadilah keanehan yang luar biasa, bahwa darah segar yang keluar dari punggung Raden Ayu memancarkan cahaya terang kebiru-biruan ke atas, menembus dinding-dinding atap kamar menyebar ke langit dan menerangi Pura Pamecutan. Bahkan seluruh kota Denpasar pun terlihat terang-benderang seperti keadaan di siang hari. Seluruh penduduk kota Denpasar sangat terkejut dengan kejadian tersebut, terutama keluarga dan Raja Pamecutan sendiri. Selang beberapa saat, para punggawa melaporkan kepada Raja, bahwa yang dibunuhnya ternyata bukan leak, melainkan Raden Ayu Siti Khotijah. Itulah peristiwa tragis yang terjadi di Pura Pamecutan akibat salah terka dari para punggawa, serta kurangnya kewaspadaan dan tanpa penyelidikan secara cermat oleh baginda Raja, sehingga Raden Ayu menjadi korban pembunuhan atas perintah baginda Raja sendiri. Jenazah Raden Ayu yang masih dalam keadaan tertelungkup-sujud dengan tombak yang terhunjam di punggungnya sulit dicabut dan dibujurkan. Keluarga kerajaan berusaha ingin menolong untuk mencabut tombak dari punggung Raden Ayu tidak dapat berbuat apa-apa. Baginda Raja kemudian meminta bantuan umat Islam yang ada di sana kampung Kepaon agar merawat jenazah putrinya menurut tata-cara Islam. Umat Islam segera membantu merawat jenazahnya, mulai dari memandikan, mengafani, mensholati, sampai memakamkannya dan semuanya berjalan lancar. Namun ada satu hal yang tak dapat diatasi, yaitu batang tombak yang menghujam di punggungnya tidak dapat dicabut. Akhirnya, atas keputusan semua pihak, jenazah dimakamkan bersama tombak yang masih berada di punggungnya. Anehnya, batang tombak dari kayu tersebut bersemi dan hidup sampai sekarang, menjadi sebuah pohon besar yang berdiri tegak di atas makamnya. Versi 2 Sejarah, cerita, mitos ataupun legenda menurut versi yang kedua bersumber dari buku “Sejarah Keramat Agung Pamecutan, Makam Raden Ayu Pamecutan alias Raden Ayu Siti Khotijah”, yang ditulis oleh juru kunci makam keramat Pamecutan, Jro Mangku I Made Puger, sebagai berikut Gusti Ayu Made Rai merupakan salah satu putri kesayangan Raja Pamecutan, I Gusti Ngurah Gede Pamecutan, yang sangat cantik. Ketika menginjak dewasa, Sang putri bertahun-tahun tertimpa penyakit liver penyakit kuning.. Berbagai upaya sudah dilakukan, namun tidak sembuh. Sang Raja memutuskan untuk melakukan “tapa semedi” di Pamerajan puri, yaitu suatu tempat suci didalam istana. Dari sana beliau mendapatkan pawisik 16 agar Sang Raja mengadakan sayembara sabda pandita ratu, yang isinya, bahwa Barang siapa yang berhasil mengobati dan menyembuhkan penyakit putrinya, kalau dia perempuan maka akan diangkat menjadi anak angkatnya. Kalau dia lelaki dan memang jodohnya maka akan dinikahkan dengan putrinya itu. Sayembara telah tersebar ke seluruh jagat dan sampai ke pulau Jawa. Salah seorang syekh dari Yogyakarta mendengar hal itu. Segeralah ia memanggil dan memerintahkan Pangeran Cakraningrat IV, salah satu murid kesayangannya yang sangat tampan dari Bangkalan Madura, agar bersedia mengikuti sayembara di Puri Pamecutan Bali. Pangeran Cakraningrat IV mentaati perintah gurunya itu, maka berangkatlah ke Bali dengan diiringi oleh 40 orang pengiring. Ia kemudian menemui Raja Pamecutan untuk ikut bersaing dalam sayembara yang juga diikuti oleh banyak pangeran atau putra raja dari berbagai kerajaan di Nusantara, terutama dari Bali sendiri. Ringkas cerita, ketika sampai pada gilirannya, sang Raja memanggil putri Gusti Ayu Made Rai dan diperkenalkan kepada Pangeran Cakraningrat IV. Perkenalan dan pandangan pertama putri kepada Pangeran ini membuat hati kedunya bergetar, suatu pertanda ada perjodohan. Pengobatan pun dimulai dan dalam waktu singkat penyakit putri dapat disembuhkan secara total. Sang Raja kemudian memanggil Pangeran ke istana untuk mengucapkan terima kasih dan menanyakan tanggapannya terhadap putrinya. Dijawab oleh Pangeran bahwa sejak perkenalan pertama, dia sudah terpesona dan mencintai sang putri, demikian pula sebaliknya tanggapan sang putri. Sang Raja lalu menikahkan Pangeran Cokroningrat IV dengan putrinya di Puri Pamecutan yang disaksikan oleh 40 pengiring Pengeran dan segenap keluarga Raja. Selang beberapa hari setelah pernikahan tersebut, Pangeran Cokroningrat IV berpamitan dan mohon diri untuk pulang dengan membawa serta isterinya ke Bangkalan Madura. Sesampainya di Bangkalan Madura, diadakan peresmian pernikahan kedua bangsawan tersebut menurut tradisi Islam. Tak lama berselang, Ratu Ayu Made Rai menyatakan diri masuk Islam dan namanya pun diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Setelah keislamannya itu, Raden Ayu sebagai seorang muslimah yang taat, selalu berusaha menjalankan ajaran agama Islam secara tekun, terutama sholat lima waktu dan tahajud, puasa dam ibadah lainnya, serta selalu berusaha meningkatkan kualitas agamanya dengan aktif mengikuti pengajian-pengajian. Sekalipun sebagai isteri keempat, kehidupan Raden Ayu bersama ketiga isteri Pangeran Cokroningrat IV lainnya terbilang rukun, tentram dan damai. Raden Ayu Siti Khotijah sudah beberapa tahun tinggal di dekat suaminya. Ia rindu kepada ayah, bunda dan keluarganya di puri Pamecutan. Pangeran Cokroningrat IV sangat mengerti dan memaklumi keinginan isterinya itu. Mengingat kesibukannya yang begitu padat, Pangeran tidak sempat mengantarkannya sendiri ke puri Pemecutan, akan tetapi menugaskan kepada 40 orang yang terdiri dari pengawal dan danyang untuk mengiringi isterinya. Pangeran hanya memberinya bekal berupa guci kuna, keris dan benda pusaka “tusuk konde” yang diselipkan di rambut isteri. Sesampainya di puri Pemecutan, Raden Ayu beserta rombongan disambut keluarganya dengan suka cita. Raden Ayu tidur di kamar komplek keputren puri Pemecutan, sedangkan rombongannya menginap di Taman Kerajaan di Monang-Maning Denpasar. Ketika tiba waktu sholat maghrib, dia melaksanakan sholat maghrib di Merajan Puri tempat suci didalam istana. Tahlilan di makam Siti Khotijah Raden Ayu melaksanakan sholat sambil menghadap ke kiblat barat dengan mengenakan mukena rukuh berwarna putih. Ketika itu Patih kerajaan secara tidak sengaja melihat gerak-gerik sholatnya seperti berdiri, rukuk, sujud, dan duduk yang menurutnya sangat aneh, karena umat Hindu di Bali melakukan sembahyang sambil menghadap ke arah timur bukan ke barat. Patih kerajaan memang hampir tidak pernah menyaksikan orang-orang Islam sembahyang menghadap ke barat, sehingga wajar bila ia menganggapnya aneh. Dengan cara sholat seperti itu, Raden Ayu dikira sedang “ngeleak” mempraktekkan ilmu hitam leak. Ki Patih kemudian memberitahukan hal itu kepada Raja bahwa putrinya sedang mempraktekkan ilmu hitam leak, dan seketika itu Raja sangat murka. Tanpa mengkonfirmasikan hal itu kepada putrinya, sang Raja langsung memerintahkan ki Patih agar membunuh putrinya tersebut. Ki Patih mengajak Raden Ayu yang diiringi oleh 40 pengawal dan danyangnya menuju ke Setra pekuburan di Badung. Sesampainya di depan Pura Kepuh Kembar, Raden Ayu menegaskan dan berpesan kepada Ki Patih, sebagai berikut “Paman Patih, aku sudah punya firasat bahwa aku dibawa ke sini akan dibunuh. Oleh karena ini perintah ayahku selaku Raja, silahkan paman Patih laksanakan. Perlu paman Patih ketahui, di “Pemerajan” tadi aku sedang menuju Alloh, melaksanakan sembahyang maghrib sesuai tata cara agama Islam yang aku anut. Tidak ada niat jahat, apalagi ngeleak. Kalau paman Patih ingin membunuh aku, janganlah menggunakan senjata tajam. Percuma, tidak akan mempan. Akan tetapi gunakan cucuk kondeku ini yang digulung dengan daun sirih dan diikat dengan benang tridatu benang tiga warna putih, hitam dan merah. Selanjutnya, tusukkan cucuk konde tersebut ke dadaku. Bila aku sudah mati, maka akan keluar asap dari badanku. Jika asap tersebut berbau busuk, kuburlah mayatku di sembarang tempat. Tetapi jika berbau wangi, tolong buatkan aku tempat suci yang disebut keramat kuburan”. Ki Patih melaksanakan apa yang telah disarankan oleh Raden Ayu. Seketika itu, Raden Ayu roboh dan wafat. Dari badannya keluar bau sangat wangi seperti bau kemenyan madu atau menyan arab yang menyebar ke seluruh Setra pekuburan yang luasnya 9 Ha. Pengiring Raden Ayu asal Bangkalan, Ki Patih dan pengawal kerajaan yang menyaksikan kejadian tersebut ada yang pingsan dan menangis histeris. Di malam itu juga jenazah Raden Ayu dimakamkan di situ. Selanjutnya, Ki Patih dan pengiring Raden Ayu menemui Raja dan menyampaikan pesan-pesan yang diucapkan oleh putrinya sebelum wafat. Sang Raja sangat terkejut dan menyesal terhadap tindakan dan perintahnya yang gegabah, lalu memerintahkan agar dibuatkan “keramat” buat putrinya dan Gede Sedahan Gelogor yang saat itu menjadi kepala Istana Pemecutan diangkat sebagai perawat atau juru kunci makam secara turun temurun, sampai keturunannya yang sekarang. TARU RAMBUT diatas makam Siti Khotijah. Sehari setelah pemakaman, tumbuh sebuah pohon tepat di tengah-tengah kuburan Raden Ayu. Oleh juru kunci, pohon setinggi 50 cm itu dicabutnya. Malamnya tumbuh lagi dan besoknya dicabut lagi. Begitu seterusnya sampai terulang tiga kali. Juru kunci lantas bersemedi atau tirakat di depan makam Raden Ayu dan mendapatkan bisikan ghaib agar pohon tersebut dipelihara dan terus dibiarkan hidup, karena pohon itu diyakini tumbuh dari rambut Raden Ayu, sehingga sampai saat ini pohon tersebut terkenal dengan sebutan “Pohon Rambut”, bahasa Balinya “Taru Rambut”. Tweet Share Share Share Share Suara Denpasar – Pulau Dewata Bali bukan soal pesona wisata pantai dan alam yang memikat hati para wisatawan mancanegara hingga domestik untuk datang. Tetapi juga memiliki wisata religi Islam yang tidak pernah diketahui pubik. Wisata islam ini menyimpan banyak peristiwa tentang penyebaran agama Islam pertama di Pulau Bali. Bahkan menyimpan berbagai kisah mistis. Di Bali sendiri ada 7 wisata religi yang keberadaan hingga saat ini masih terjaga dan masih dikunjungi oleh penduduk lokal Islam di Bali. Berikut 7 lokasi wisata religi Islam yang disarikan dari berbagai sumber yang ada Baca Juga3 Series dan Film Adhisty Zara Terbaru, Ada Virgo and The Sparklings 1. Makam Wali Negara atau Datuk Lebai Melayu Habib Ali Bin Umar Bafaqih Makam Habib Ali bin Umar Bafaqih lokasi tidak jauh dari pusat Kota Kabupaten Jembrana. Makam ini berlokasi di Jalan Nangka No. 145 Desa Loloan Barat Kecamatan Negara Jembrana. Sekedar diketahui lokasi makam dari Datuk Lebai Melayu kelahiran Banyuwangi Jawa Timur ini berada di Area Pondok Pesantren Syamsul Huda yang didirikannya pada tahun 1935. Menariknya, beliau saat mudanya pernah belajar memperdalam ilmu ke tanah Mekkah selama 7 tahun lamanya. Sepulangnya dari Makkah, beliau juga pernah mondok di salah satu pesantren di Jombang, sampai akhirnya beliau datang berdakwah di pulau Bali atas permintaan Datuk Kyai Haji Mochammad Said seorang ulama besar di Loloan untuk menyebarkan Agama Islam. Baca JugaSoal Transfer Raffi Ahmad, Aldila Jelita Merasa Diserang, Pengacara Indra Bekti Cuma Bercanda Maka tidak heran banyak dari warga Kabupaten Jembrana Bali mengikuti ajarannya dengan memeluk agam Islam. 2. Makam Wali Karangrupit, The Kwan Lie atau Syekh Abdul Qodir Muhammad Makam Syekh Abdul Qadir Muhammad terletak di Desa Temukus berada tepat di samping Pura Agung Labuan Aji, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Syekh Abdul Qadir Muhammad datang ke Bali untuk mensyiarkan agama Islam mulai dari Karangasem, Buleleng, hingga Jembrana. Kini makam beliau ramai dikunjungi oleh para peziarah dari dalam dan luar Bali. 3. Makam Wali Bukit Bedugul atau Syekh Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi Makam Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi yang berlokasi di Puncak Bukit Tapak, di tengah area hutan cagar alam kebun Raya Bedugul milik Perhutani Bali yang hutannya masuk sebagai wilayah konservasi. Makam Habib Umar Bin Maulana Yusuf Al-Maghribi merupakan salah satu Wali di Bali yang berjasa dalam mensyiarkan Islam di kawasan pegunungan Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Tabanan dan sekitarnya. Makam Habib Umar bin Yusuf Al-Magribi ramai dikunjungi peziarah pada hari Sabtu dan Minggu, serta saat Hari Raya Idul Fitri. 4. Makam Wali Kembar Karangasem atau Syekh Maulana Yusuf Al-Baghdi dan Habib Ali Bin Zaenal Abidin Al-Idrus Makam Keramat Kembar Karangasem di Desa Bungaya Kangin, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Di dalam satu cungkup makam kembar ini terdapat makam Habib Ali bin Zainal Abidin al-Idrus berjajar dengan makam tua/kuno yang identitasnya masih simpang siur. Makam kembar Karangasem biasanya ramai dikunjungi peziarah menjelang bulan puasa, atau hari-hari libur. Peziarah mayoritas berasal dari Jawa dan Kalimantan. Sedangkan peziarah dari luar negeri yang datang rutin tiap tahun berasal dari Malaysia, Singapura, dan Maroko. 5. Makam Wali Kusamba atau Habib Ali bin Abu Bakar bin Umar Al-Khamid Makam ini terletak di tepi pantai Desa Kusamba, Kecamatan Dawah, Kabupaten Klungkung, Bali. Sewaktu hidupnya, Habib Ali bin Abu Bakar al-Hamid pernah menjadi penasehat dan guru bahasa Melayu bagi Raja Klungkung saat itu, Dalem I Dewa Agung Jambe. Selama menjalankan tugasnya, Habib Ali juga memanfaatkan waktunya untuk berdakwah kepada keluarga istana dan orang-orang yang berhubungan dengannya. Keberadaan makam Habib Ali sangat dikeramatkan oleh penduduk setempat, baik umat Islam maupun Hindu. Hal ini terbukti dari para peziarah yang tidak hanya berasal dari kalangan Muslim, melainkan juga dari mereka yang beragama Hindu. 6. Makam Wali Seseh Mengwi, Pangeran Mas Sepuh atau Syeh Achmad Chamdun Choirussoleh Pangeran Mas Sepuh atau Syeh Achmad Chamdun Choirussoleh berlokasi di Banjar Seseh, Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Badung. Syekh Achmad Chamdun Choirussholeh atau Raden Amangkuningrat atau Pangeran Mas Sepuh adalah sosok sakti mandraguna putra dari Raja Mengwi I dengan ibundanya adalah putri dari Kerajaan Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Pangeran Mas Sepuh datang ke Bali semata-mata ingin menemui ayahnya di Mengwi. Sebab, Pangeran Mas Sepuh tidak pernah bertemu sang ayah sejak lahir ke dunia. Banyak cerita menyebutkan bahwa Raja Mengwi I meninggalkan Blambangan dan kembali ke istananya di Mengwi, saat Pangeran Mas Sepuh masih dalam kandungan. Setibanya Pengeran Mas Sepuh di Kerajaan Mengwi, ternyata sang ayah telah wafat. Terjadilah perselisihan dengan keluarga Kerajaan Mengwi, hingga akhirnya Pangeran Mas Sepuh meninggalkan istana. Saat dalam perjalanan setelah keluar dari Kerajaan Mengwi, segerombolan orang menyerang Pangeran Mas Sepuh. Pertempuran hebat pun terjadi, namun tak satu pun senjata dari gerombolan orang itu yang mampu melukai Pangeran Mas Sepuh. 7. Makam Ratu Ayu Anak Agung Rai atau Raden Ayu Siti Khotijah. Makam Pangeran Sosrodiningrat berlokasi di dekat terminal bus kota Denpasar. Sedangkan makam Ratu Ayu Anak Agung Rai, Dewi Khodijah berada di jalan Batu Karu kota Denpasar Barat, searah dengan jalan menuju perumnas Monang-maning Denpasar. Pangeran Sosrodiningrat adalah seorang senopati dari Mataram yang terdampar di pulau Bali saat sedang berlayar menuju Ampenan pulau Lombok. Di pulau Bali, Pangeran Sosrodiningrat kemudian dimintai kesediaannya oleh Raja I Gusti Gede Pamecutan untuk memimpin prajurit yang sedang berperang melawan Kerajaan Mengwi. Raja Pamecutan juga berjanji kepadanya apabila perang telah usai dan meraih kemenangan, maka ia akan dinikahkan dengan putrinya. Karena jasanya membantu Raja Pamecutan meraih kemenangan, Pangeran Sosrodiningrat akhirnya dinikahkan dengan putrinya, Ratu Ayu Anak Agung Rai. Setelah dipersunting oleh Pangeran Sosrodiningrat, Raden Ayu kemudian memeluk agama Islam dan namanya diganti menjadi Raden Ayu Siti Khotijah. Setelah menikah, Raden Ayu juga bersungguh-sungguh dalam menekuni, mempelajari dan melaksanakan ajaran Islam secara baik. Namun dianggap oleh keluarganya bahwa itu adalah ajar sesat, siti khadijah akan tahu bahwa beliau akan dibunuh oleh utusan sang raja. Sebelum dibunuh dia menyampaikan pesan untuk lemparlah cucuk kondenya ke arah dada siti khadijah sebelah kiri. Jika sudah meninggal, dari badan akan keluar asap. Bila asap yang keluar dari badan saya berbau busuk, meminta untuk dimakamkan sembarangan. Tapi, jika asap dari badan berbau harum, tolong dibuatkan tempat suci yang disebut keramat. Apa yang terjadi benar saja meninggal dengan keadaan bau harum serta makamnya terus menjulang pohon yang dianggap tumbuh dari rambut siti khadijah. Kini makam keduanya ramai menjadi tujuan tempat berziarah bagi para peziarah yang datang baik dari Bali maupun dari luar pulau Bali. ***

sejarah makam siti khadijah di bali